Mengatasi Writer's Block

Mengatasi Writer's Block

Seorang guru dengan prestasi-prestasinya yang luar biasa. profil narsum dapat dilihat pada tautan berikut https://dittawidyautami.blogspot.com/p/profil.html?m=1

Beliau adalah Ibu Ditta Widya Utami, S.Pd., Gr., Seorang guru berprestasi dan sangat menginspirasi.

Ditta Widya Utami, S.Pd., Gr membawakan meteri yang bertajuk "Mengatasi Writer's Block"

Ibu Ditta juga punya akun di Kompasiana dan Blogspot.

https://www.kompasiana.com/ditta13718
https://dittawidyautami.blogspot.com

Ditta Widya Utami juga alumni kelas menulis yang kini bernama KBMN. Tepatnya alumni Gelombang Ke-7.

Ia berpesan siapa pun yang ingin menjadi penulis andal, maka harus siap dengan prosesnya.

Tak bisa instan tentu. Diperlukan jam terbang yang cukup banyak agar bisa menjadi seperti Omjay, Bunda Kanjeng, Pak Dail, Bunda Aam, Bu Rali, Mr. Bams, Prof. Eko, dan lainnya

Ditta sendiri sudah senang membaca buku-buku cerita sejak kecil (sebelum SD). Senang menulis sejak di sekolah dasar (dalam buku diary).

Lalu ... saat SMP, sering mengirim tulisan ke mading sekolah dan pernah menulis cerita di buku tulis yang dibaca bergiliran oleh teman-teman.

Atas arahan guru Bahasa Inggris saya saat itu, ia juga menulis diary dalam bahasa Inggris.Ketika SMA, ditta masih tetap menulis diary. Beberapa teman dekat yang membaca diarynya sempat berkomentar bahwa tulisan saya sudah seperti novel.

Namanya anak remaja, banyak emosi yang dituangkan dalam catatan Ditta remaja. Namun belakangan, ia tahu bahwa menulis apa pun yang dirasakan bisa menjadi self healing yang baik.

Bahkan saat ini, beberapa psikolog ada yang menyarankan kepada para pasiennya untuk menulis sebagai salah satu cara mengatasi depres.

Rupanya kebiasaan menulis tersebut memberi banyak manfaat. Misalnya ketika kuliah, ia pernah membuat buku Petualangan Kimia bersama rekannya dan diikutsertakan dalam Lomba Kreativitas Mahasiswa di Jurusan. Alhamdulillah meraih posisi kedua.

Di saat kuliah juga, ia menulis proposal bersama teman-teman dan berhasil mendapat dana hibah untuk asosiasi profesi dari Dikti hingga 40 juta. Di tahun 2009-2010 jumlah tersebut tentu sangat besar.

Awal masuk dunia kerja, bisa dibilang ia cukup vakum menulis. Mengajar di boarding school dengan aktivitas yang padat membuatnya mengambil jeda sejenak dalam dunia kepenulisan.

Hingga akhirnya di awal masa pandemi, ia mengikuti kelas menulis bersama PGRI dan masuk di angkatan ke-7.

Ditta sangat bersyukur, karena berawal dari arahan untuk membuat resume, ia kemudian kembali aktif menulis di blog. Bahkan berkesempatan menulis bersama Prof. Eko. Alhamdulillah menjadi 1 di antara 9 orang (angkatan pertama tantangan Prof. Eko) yang bukunya terbit di penerbit mayor.

Karena terbiasa menulis juga, alhamdulillah ia bisa menyelesaikan esai di seleksi Calon Pengajar Praktik Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 3 dan lulus. Alhamdulillah saat ini sedang bertugas lagi di Angkatan 6.

Ibu dan Bapak hebat dimana pun Anda berada, kita yang tergabung dalam grup ini tentu sepakat bahwa menulis memiliki banyak manfaat (disadari atau tidak).

Ada yang menulis karena hobi, kebutuhan, tuntutan profesi, dan lain sebagainya. Apa pun alasannya, aktivitas menulis memang tak bisa lepas dari kita sebagai makhluk yang berbahasa dan berbudaya.

Nah, lalu apa kaitannya cerita saya dengan “writer's block”.

Pertama, mari samakan persepsi bahwa aktivitas menulis itu maknanya luas.

Sebagaimana dalam kisah di awal, ada tulisan pribadi dalam bentuk diary, ada karya tulis ilmiah, ada cerpen, artikel, resume, dan sebagainya.

Menulis adalah kata kerja yang hasilnya bisa sangat beragam. Oleh karena itu tak hanya novelis, cerpenis, jurnalis atau blogger, namun ada juga, copywriter, yang tulisannya mengajak orang untuk membeli produk, ada content writer yang bertugas membuat tulisan profesional di website, ada script writer penulis naskah film/sinetron, ada ghost writer, techincal writer, hingga UX writer, dll.

Faktanya, penulis-penulis tersebut masih bisa terserang virus WB alias Writer's Block. Tak peduli tua atau muda, profesional atau belum, WB bisa menyerang siapa pun yang masuk dalam dunia kepenulisan.

Oleh karena itu, penting bagi seorang penulis untuk mengenali WB dan cara mengatasinya. Karena, WB ini bisa menjangkit dalam hitungan detik, menit, hari, minggu, bulan, bahkan tahunan. Tergantung seberapa cepat kita menyadari dan mengatasinya.

Sederhananya, WB adalah kondisi dimana kita mengalami kebuntuan menulis. Tak lagi produktif atau berkurang kemampuan menulisnya.

Hal ini bisa terjadi dengan disadari atau pun tidak.

Istilah writer's block sebenarnya sudah ada sejak tahun 1940an. Diperkenalkan pertama kali oleh Edmund Bergler, seorang psikoanalis di Amerika.

Berkaca dari pengalaman, WB ini bisa terjadi berulang. Me-reinfeksi kita sebagai penulis. Itulah mengapa ditta katakan WB ini sebagai "virus" yang sesekali bisa aktif bila kondisinya memungkinkan.

Ibarat penyakit, tentu akan lebih mudah disembuhkan bila kita mengetahui faktor penyebabnya, bukan?

Begitu pula dengan WB. Agar bisa terhindar atau segera terlepas dari WB, maka kita perlu mengenali penyebabnya.

Mencoba metode/topik baru dalam menulis, sebenarnya bisa menjadi penyebab sekaligus obat untuk WB.

Misal ketika jadi penyebab:

Ada orang yang senang menulis cerpen atau puisi. Kemudian tiba-tiba harus menulis KTI yang tentu saja memiliki struktur dan metode penulisan yang berbeda. Bila tak lekas beradaptasi, bisa jadi kita malah terserang WB.

Lalu bagaimana ini bisa menjadi salah satu obat WB? Jawabannya akan berkaitan dengan faktor penyebab WB yang kedua dan ketiga.

Dalam Kamus Psikologi, stress diartikan sebagai ketegangan, tekanan, tekanan batin, tegangan dan konflik.

Lelah fisik/mental akibat aktivitas harian yang padat juga dapat memicu stress. Pada akhirnya, jangankan menulis, kita bisa merasa jenuh dan suntuk. Terserang WB deh.

Maka, mencoba hal baru dalam menulis bisa jadi alternatif solusi.Mempelajari hal-hal baru yang berbeda dengan sebelumnya pasti menyenangkan.

Beberapa teman dan ditta sendiri terkadang memilih untuk sejenak rehat dan melakukan hal yang disukai untuk refreshing.

Membaca buku-buku ringan untuk cemilan otak juga bisa jadi solusi mengatasi WB. Biar bagaimanapun, WB bisa terjadi karena kita belum bisa mengekspresikan ide dalam bentuk kata.

Dengan membaca, kita bisa menambah kosa kata. Pada akhirnya, jika diteruskan insya Allah bisa sekaligus mengatasi WB.

Terakhir yang bisa menyebabkan WB adalah terlalu perfeksionis

Ditta membuka kembali diary berbahasa Inggris yang ia tulis saat duduk di kelas 2 SMP, ia akan tersenyum bahkan tertawa sendiri.

Bagaimana tidak?

Grammar nya saja banyak yang tidak sesuai, tapi ia tetap PD (Percaya diri) menulis tak hanya satu, ada dua atau tiga diary.Tapi, justru itulah salah satu kunci menghadapi WB.

Bila saat itu ia terlalu perfeksionis, terlalu memikirkan apakah tulisannya sudah sesuai kaidah atau belum, niscaya diary berbahasa Inggris itu tidak akan pernah rampung.

Kondisi menulis dimana kita tidak memikirkan salah eja, salah ketik, koherensi dsb ternyata dalam dunia psikologi dikenal dengan istilah free writing atau menulis bebas.

Nah, jadi siapa di sini yang masih khawatir tulisannya tidak dibaca? Khawatir dinyinyir orang? Khawatir dikritik ahli? Khawatir tulisannya nggak bagus? Dan masiiih banyak kekhawatiran lainnya.

Yuk, dicoba menulis bebas untuk mengatasi salah satu penyebab WB-nya.Bukankah tulisan yang buruk jauh lebih baik daripada tulisan yang tidak selesai?

Bagaimana cara memulai untuk memperkenalkan budaya digital pada anak SD.
Mengingat sekolah tempat saya mengajar bukan kategori lingkungan yang baik. Orang tua murid cenderung mengatur guru, sementara dg kondisi mereka yang berpengetahuan level bawah ?
Terimakasih

Tulisan tersebut saya buat setelah mengikuti mengikuti Literasi Digital Sektor Pemerintahan Daerah Jawa Barat Tahun 2022 (BPSDM) Batch 5 Bertema Literasi Digital yang diselenggarakan oleh Pemberdayaan Kapasitas Teknologi Digital Kementerian Kominfo.

Selanjutnya bisa juga membaca Bagian Kedua tentang Etika Digital:

https://www.kompasiana.com/ditta13718/62f53edba51c6f0496200b63/literasi-digital-kemkominfo-bagian-2-etika-digital

Untuk yang nomor dua, saya jadi teringat dengan pengalaman salah satu Guru Penggerak di Angkatan 3. Beliau juga kurang lebih mengalami hal yang sama.

Salah satu kuncinya ada di *komunikasi*. GP ia menemui tokoh dari kelompok yang anti terhadap sekolah. Tidak sekedar tatap muka di sekolah, GP ditta bahkan datang langsung ke rumah beliau. Alhamdulillah hasilnya positif, malah tokoh tersebut jadi curhat terkait hal-hal yang membuatnya anti pada sekolah.

Sampaikan dengan niat yang baik dan tulus dari hati. Karena apa yang disampaikan dari hati, akan sampai ke hati pula.

Bagaimana cara mengatasi WB saat mengikuti 3 pelatihan sekaligus,, seperti yang saya alami saat ini, saya mengikuti pelatihan KBMN 28, tapi juga minat dengan tantangan Prof. Ekoji, dan juga program dari pak Dail...semuanya hanya membutuhkan waktu singkat, kadang kalo digunakan untuk membaca-baca seperti ada waktu yang hilang, mohon pencerahannya agar semuanya dapat terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan

Kalau saya di posisi Ibu, ia akan membuat skala prioritas dan jadwal menulis.Insya Allah ketiga-tiganya akan bisa dijalani dengan baik asal kita istiqomah dengan jadwal yang telah ditetapkan.

Cari dan kenali waktu emas Bu Indah dalam menulis (karena tiap orang bisa berbeda).Apakah kira senang menulis di kala subuh? Sebelum tidur? Saat jeda istirahat?


Bagaimana tips dan trik dari Bu Dita yang cantik ini agar bisa menyelesaikan satu persatu karya yang masih menjadi draft di laptop?

Ditta juga pernah kok membuat tulisan tulisan buruk. Tapi toh itu tetap berkesan ketika dibaca ulang, Tips dari ditta, coba buka kembali kemudian kelompokkan. Siapa tau bisa jadi buku

Buku solo pertamanya berjudul Lelaki di Ladang Tebu juga asalnya kumpulan draft cerpen di laptop.*Kuatkan tekad*, olah Kembali, kalau bisa sambil membuat daftar isi.

Mulai dari akhir (bayangkan bukunya sudah jadi, bukan sekedar draft lagi).Dan tentu saja: mulai menulis. Mari kita ingat bersama bahwa menulis adalah kata kerja. Artinya harus dilakukan baru ia akan bermakna.

Saya sudah merasakan writer's block ketika tulisan saya sedikit yang membaca. Muncul di sana keengganan untuk menulis lagi. Apakah yang harus saya lakukan. Menulis dengan topik aktual tetapi kurang dikuasai, atau terus menulis tanpa menghiraukan jumlah pembaca?

Pa Agung, saya juga pernah merasa di posisi Pa Agung. Sedih memang ketika sudah menulis dengan kesungguhan hati namun masih sedikit yang membaca.

Tapi, kalau boleh saya tanyakan ... apa sebetulnya niat Pk Agung dalam menulis?

Seingat saya Prof Eko juga menyarankan agar kita menulis sesuai dengan minat kita atau yang kita kuasai.

Namun, jika niat P Agung memang menulis agar bisa dibaca banyak orang, banyak cara yang bisa ditempuh.

Tetap konsisten menulis dan berbagi tulisan, atau ikut kelas menulis khusus untuk freelance seperti ghost writer, content writer, dll

Berbeda jika ternyata P Agung memiliki niat lain

Maka, jangan jadikan jumlah pembaca sebagai patokan.

Karena setiap penulis akan menemukan takdir pada para pembacanya.Yakin, bahwa setiap tulisan yang kita buat akan tetap bermanfaat walau hanya untuk satu orang.

Bukankah, satu tulisan yang bermanfaat atau menginspi bagi satu orang, akan lebih baik daripada tulisan yang dibaca banyak orang tapi mudah dilupakan?

Saya yakin, jika P Agung tetap menulis, kelak tulisan P Agung akan dibaca oleh banyak orang, sebanyak yang Pak Agung mau, insya Allah

bagaimana cara kita untuk menghilangkan rasa keragu-raguan saat menulis, karena ide mandek di tengah jalan.

Yuk, menulis dengan teknik free writing alias menulis bebas.
Saat mandek, coba tulis saja:

"Sekarang ini saya sedang buntu menulis. Entah mengapa tiba-tiba mandek. Seperti sedang berlari sprint lantas menabrak tembok .... dst."

Atau bisa juga:

"Jujur, saat ini aku ragu. Ragu jika tulisanku ini seindah pelangi. Seharum mawar. Atau sebaik intan yang akan dipandang banyak orang. Banyak ketakutan yang muncul dalam benakku ... dst"

Nah kan meski mandek, dengan teknik free writing (biarkan tangan menulis dan ide muncul belakangan, tak perlu bingung benar salah yang penting nulis).

Eh belom beres ya
Dengan teknik free writing, insya Allah bisa kabur tuh virus WB nya.

Apa kita juga bisa meraih mimpi seperti Ibu Ditta yang hebat, walau kami tidak se-getol Bu Ditta?
Apa yang paling penting dipersiapkan utk menjadi seorang penulis. Terima kasih

Pasti bisa dooong 😎 *yakin*.
Mental seorang penulis.

Jika berkenan, silakan simak video yang saya buat tentang mental seorang penulis ya Bun :

https://youtu.be/UkRDLmA4dUY

Bagaimana trik trik biar bisa menulis yang bermutu.Saya mulai menulis sudah setua ini umur saya yaitu 50 tahun lebih.tapi saya semangat

Wah, terima kasih

Kisah Bunda Lilis dan Bunda Kanjeng cocok jadi inspirasi nih untuk kasus Bunda.

Untuk tipsnya _"practice makes perfect"_ dan perbanyak membaca terkait dengan apa yang akan kita tulis.

Misal jika Bunda senang menulis puisi, maka mari membaca karya karya sastrawan terkemuka.

Bila senang cerpen, mari perbanyak baca cerpen yang berhasil dimuat di media massa atau karya cerpenis populer.

Membacanya harus seperti kacang goreng. Dinikmati, diresapi kata-katanya, kenali diksi yang digunakan, dsb. Bukankah makan kacang goreng lebih nikmat bila perlahan, bukan sekaligus 😁

Lain halnya jika ingin menulis karya ilmiah, ya mesti mau membaca jurnal. Hehe

Saya pernah baca tulisan Prof. Ngainun, jika ingin menulis jurnal, setidaknya kita harus membaca beberapa volume dari jurnal yang kita targetkan.

Pokoknya tetap semangat ya Bun. Usia bukan halangan bagi seseorang untuk bisa menjadi penulis andal

Saya katakan "penyakit" karena memang jika dibiarkan, dampaknya bisa fatal. Tak produktif lagi.

Apa yang menurut Bu Ditta paling sulit saat menulis dan bagaimana mengatasinya ?🙏🏻

Yang *paling sulit* saat menulis menurut saya adalah *percaya dengan tulisan sendiri*.

Terkadang kita baru percaya tulisan kita baik, ketika ada orang yang berkomentar baik.

Kita terlalu khawatir dengan penilaian orang lain, padahal sejatinya tak pernah ada manusia yang sempurna. Buku buku best seller pun ada edisi revisinya, kan?

Cara mengatasinya ...
Dengan mengingat niat awal kita menulis. Mengingat kembali masa masa dimana kita menikmati proses menulis itu sendiri.Dan tak lupa berdoa

Seperti malam ini, sebelum menulis di grup ini, saya juga meminta doa pada kedua orang tua saya

Mohon kesediaan bu Ditta untuk memberikan closing statement

Ada pepatah yang mengatakan:

_"It doesn't matter how brilliant is your brain. If u do not speak up, it would be zero."_

Mari, tuangkan dan sampaikan ide ide kita, pemikiran pemikiran kita, perasaan perasaan kita agar menjadi lebih bermakna.

Posting Komentar